Kupang-Gaharunees.com,- Bulan Mei ditetapkan oleh GMIT sebagai Bulan Bahasa dan Budaya. Sepanjang bulan ini, GMIT bermaksud membangun pemahaman dan aksi iman bersama terkait Bahasa dan Budaya. Dengan ditetapkannya bulan Mei sebagai Bulan Bahasa dan Budaya, Pemuda GMIT Carmel Fatululi turut menggelar dan memeriahkan Kegiatan ibadah bulan bahasa dan budaya di lingkungan Gereja GMIT Fatululi menggunakan Liturgi yang dipadukan dengan budaya Etnis Nusa Tenggara Timur.
Kegiatan ibadah yang dilaksanakan pada Kamis (26/5) sampai dengan sabtu 28 dihadiri keluarga besar GMIT.
Ketua Panitia Ike Foe yang dikonfirmasi mengatakan Nilai-nilai kerjaan Allah yang harus ditanamkan adalah hidup dan taat dalam kasih kepada Allah serta mengasihi sesama, mendengar dan melakukan Firman Tuhan. Firman Tuhan adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku, taatlah akan perintah Tuhan dan bukan slogan belaka tetapi harus dilaksanakan.
Orang yang hidup dalam Tuhan maka dimanapun ia berada disitu ada Damai, karena dasar kasih dan Yesus datang menyejukkan hati manusia.
Manusia mulai hidup dalam kesenangan dunia dan lari dari ajaran kristen, maka kehidupan akan terasa kacau dan tidak ada rasa damai dan kasih, sebagai anak Allah mari kita hidup dalam kasih Allah dan pancarkan dalam hidup itu kasih sampai ke ujung dunia, mari mengasihi dengan tidak menuntut apa-apa.
terutama di era digital. Suka atau tidak suka ini menjadi bagian kehidupan kita, persoalannya adalah bagaimana gereja merespon perubahan tersebut. “Terutama generasi muda yang semua sudah sangat akrab dengan dunia digital, bagi mereka adalah bagian dari warga jemaat sehingga program-program pemuda yang sadar tentang pentingnya mendampingi pemuda bertumbuh dalam imannya di tengah era digital ini menjadi sangat penting. Cara-cara pelayanan kita pun mengalami perubahan, biar anggota pemuda kita jangan lari ke tempat lain,” katanya.
Demikian halnya dengan kemajemukan Indonesia. kata dia, saat ini kemajemukan Indonesia tidak hanya dari suku, budaya, bahasa, tetapi juga pola pikir. Sebab itu, pelayanan para pendeta tidak lagi seperti masa lalu, tetapi diperlukan adanya modifikasi-modifikasi sesuai dengan perkembangan. Meski demikian hal itu harus tetap sesuai dengan amanat firman Allah. “Ini perubahan yang harus terjadi. Kalau kita tidak berobah, kalau gereja tidak berobah, kalau gereja hanya peduli kepada dirinya sendiri, maka kita gagal menjadi gereja yang diutus ke dalam dunia,” tandasnya.
Ia mengemukakan berangkat dari kesadaran bahwa bahasa adalah anugerah Tuhan bagi manusia untuk saling berinteraksi, membangun persatuan, saling pengertian dan cinta kasih. Kita bisa membayangkan bahwa kalau tak ada bahasa, kita tidak saling memahami satu dengan yang lain. Lebih dari itu sebagai orang Indonesia kita bersyukur, menurut survei Summer Institute of Linguistic (SIL), Indonesia memiliki tidak kurang dari 746 bahasa daerah, 61 di antaranya ada di provinsi Nusa Tengara Timur (NTT).
Dikemukakannya sebagai anugerah Tuhan, bahasa-bahasa lokal patut dirawat agar lestari. Sebagaimana kata bijak, “bahasa menunjukkan bangsa” maka bahasa lokal merupakan bagian dari identitas masyarakat setempat. Jadi kita mesti bersyukur, selain memiliki bahasa-bahasa derah masing-masing, kita memiliki bahasa yang menyatukan kita, bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
“Kalau kita tidak memiliki bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia, barangkali kita sulit memahami satu sama lain dan bukan tidak mungkin terjadi ketersinggungan, salah paham, ketika kita saling berkomunikasi. Meskipun begitu kita mesti berhati-hati dengan upaya penyeragaman bahasa yang membuat kita mengabaikan keragaman bahasa karunia Tuhan. Di zaman ini, penguasaan bahasa nasional dan bahasa internasional memang diperlukan namun bahasa daerah pun harus dirawat sebagai tanda syukur atas kekayaan hikmat yang dianugerahkan Allah bagi kita,” tambahnya. (Aries)