Oleh: Naftali Djoru
Waingapu, Gaharu News.Com – Kawin Tangkap di Sumba begitu mendunia….sampai-sampai Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengagendakan kunjungan secara khusus di Sumba….
Apakah ini fenomena baru? Kalau bukan baru (ada sejak dulu), kenapa baru skrg kita semua menjadi resah, gelisah, marah, malu?
‘’Tulisan singkat saya tidak berpretensi menjawab semua jawaban itu secara langsung….saya lebih tertarik menelaah pokok ini dalam sudut pandang etika antroplogi kebudayan’’
Peristiwa “kawin tangkap” bukan baru,bahkan sejak 1 abad lebih yang lalu ada kejadian yang terekam sejarah tulisan.
Hal istilah, hemat saya lebih berhati2 membuat kesimpulan bahwa istilah itu tidak ada karena apabila peristiwa “Kawin Tangkap” sudah berabad terjadi, maka pembenaran perilaku itu hanya bisa diterima oleh masyarakat Sumba dengan istilah budaya.
Beberapa waktu yang lalu, saya juga masih sepaham bahwa tidak ada istilah kawin tangkap saya memahami bahwa istilah itu hanya terminologi khusus untuk menunjuk pada suatu kejadian khusus pula….namun akhirnya saya menemukan kosa kata “yappa maranggang”, (terimakasih untuk Saudara Titus Umbu Rei yang sempat mengangkat istilah ini) yang merupakan arti yang sejajar secara leksikal dengan terminologi “kawin tangkap” maka semua kesimpulan saya kemarin harus dikoreksi.
Banyak kerumitan yang ditemui dalam menelaah ini, karena secara etnografi istilah lokal yang dipergunakan tidak umum bahka rancu dengan banyaknya istilah adat kawin mawin di Sumba, demikian juga resistensi spontan kebanyakan kalangan adat dan budaya yang mengatakan hal ini bukanlah kebudayan Sumba cukup mempengaruhi alur berpikir kritis.
Namun demikian, dalam penelusuran yang panjang, saya perlu membuat beberapa catatan kritis. Bahwa peristiwa “Kawin Tangkap” telah menuntun kita untuk kritis dan peka mencermati sebuah proses perubahan dan dialektika kebudayaan Sumba dalam bentuk penetrasi kuasa simbolik secara halus thdp keluhuran kebudayaan Sumba itu sendiri, sehingga penyimpangan kebudayaan itu nyaris tidak dipersoalkan berabad-abad ini.
Hal berikut yang patut direnungkan adalah wacana dalam kesimpulan kita bahwa kawin tangkap bukan budaya Sumba, saya berupaya memahami resistensi orang Sumba yang ada dalam situasi tekanan akibat pemberitaan yang luas bahkan mendunia,kita generasi kekinian yang hidup dalam tatanan peradaban global, akan sangat mudah memahami kasus ini sebagai sesuatu hal yang tidak patut, etis, bahkan tidak beradab, namun pada sisi lain, kesimpulan yang cenderung emosional dan klarifikatif tanpa memahami unsur etis antroplogi kebudayan Sumba, hanya akan membuat kita membuat nisan sejarah yang tetap bercerita pada generasi ke depan, bahwa di Sumba pernah ada suatu tradisi yang berabad lamanya menjadi instrumen perilaku adat istiadat kawin mawin org Sumba, yang disebut “kawin tangkap”.
Maksud saya adalah “kawin tangkap” adalah bagian dari perkembangan kebudayaan Sumba, yang muncul tidak secara otomatis atau berdiri sendiri….namun juga karena pengaruh interaksi sosbud dan pengalaman berbudaya yang panjng… kawin tangkap sebagai kasus telah mengalami pembiasaan (habitualisasi) dan dipraktekkan dengan legitimasi simbol budaya pula dalam istilah “Yappa Maranggang”. Pada gilirannya menjadi tradisi yang diterima sebagai kebenaran budaya oleh maayrakt tertentu….Itulah sebabnya bagi para pelaku, tindakan “Yappa Maranggang” merupakan salah satu alternatif solusi yang ditempuh ketika berhadapan dengan tatanan nilai dan norma kebudayaan Sumba, yang mungkin dalam kurun waktu tertentu sudah tidak mampu lagi menyediakan saluran penyelesaian proses adat kawin mawin secara normatif sesuai hakekat kebudayaan Sumba itu sendiri,pembenaran-pembenaran kebudayaan yang terjadi selama ini (oleh kabihu, para tokoh adat tertentu, bahkan juga legitimasi perkawinan oleh gereja melalui pemberkatan nikah tanpa mempersoalkan proses terbentuknya pernikahan itu sendiri), mengakibatkan kejadian ini selalu berulang dan nyaris tidak terhalang hukum positif yang berlaku maupun teologi praktikal bagi lembaga agama (gereja) selama ini.
Hal ini bukan berarti bahwa “Yappa maranggang” sebagai entitas perkembangan kebudayaan Sumba dapat dibenarkan….ini adalah suatu bentuk penyimpangan kebudayaan yang dapat dikategorikan sebagai “kejahatan” dalam kebudayaan. Sebagai suatu kejahatan, maka tepatlah jikalau ada penolakan dan larangan baik secara moralitas kebudayaan Sumba, maupun hukum positif yang berlaku di republik ini. (bandingkan tradisi membunuh hamba dalam pengebumian bangsawan jaman dulu di Sumba Timur)
Oleh karena itu, generasi kekinian yang bertanggung jawab meluruskan kembali keluhuran kebudayaan Sumba, tidak perlu malu mengakui bahwa perilaku-prilaku menyimpang demikian (Yappa maranggang) pernah dan masih ada sebagai tradisi-tradisi warisan yang terjadi dalam proses perubahan dan dialektika kebudayaan Sumba. Sekaligus menegaskan bahwa “Kawin Tangkap” bukan saja sekedar penyimpangan, namun merupakan KEJAHATAN dalam perkara berbudaya itu sendiri …
Adalah kewajiban moral kemanusiaan masa kini untuk memfilter tradisi-tradisi yang keluar dari standar norma, nilai, etika kebudayaan Sumba dan dalam klasifikasi sebagai suatu kejahatan, maka paradigma teologis gereja pada tataran teologi praktikal, serta regulasi-regulasi hukum positif, menjadi urgen diterapkan sebagai instrumen negasi dan kendali kejahatan kebudayaan dimaksud.
Pada tataran ini saya memberikan apresiasi untuk kesepakatan dan seruan-seruan banyak pihak yang melakukan penolakan kawin tangkap di Sumba.
Pada akhirnya, kita hanya akan dapat menjadi jujur dan bijak kalau menyadari bahwa Kebudayaan selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan dan perubahan manusia yang melahirkannya.
Dalam prinsip itu, keluhuran asali Kebudayaan Sumba juga mengalami perubahan…bisa mengarah positif, juga mengarah negatif.
Alat ukur dan kendali perubahan kebudayaan agar kebudayaan tetap menjalankan fungsinya bagi kbaikan dan kejahteraan hidup manusia, adalah “Makna, nilai, norma, kebudayaan itu sendiri” yang saya sebut sebagai “Keluhuran Kebudayaan”…. Dengan demikian Kawin Tangkap ataupun fenomena tradisi kebudayaan yang berindikasi kan adanya ancaman kemanusiaan, paksaan, kekerasan, bahkan praktek2 kekuasaan simbolik kebudayaan yang semena mena terhadap manusia, adalah perilaku menyimpang dari kebudayaan yang justru “mengoyak keluhuran” kebudayaan itu sendiri.
Editor : Gaharu News.Com **TIM**