Kupang,Gaharunews.Com,-May Day merupakan peristiwa yang mempunyai nilai sejarah yang panjang dalam perjuangan terhadap penghisapan dan penindasan di negeri ini.
Secara Historis, May Day merupakan tonggak kemenangan bagi kaum buruh di Amerika Serikat dalam perjuangan menuntut pengurangan jam kerja dari 12-16 jam per hari menjadi 8 jam per hari, yang diraih melalui perjuangan panjang (tahun 1886 sampai 1890-an) yang begitu hebat dengan pengorbanan yang tidak akan pernah ternilai untuk membebaskan diri dari belenggu penindasan dan penghisapan imperialisme.
Dalam peringati May Day kali ini, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT sebagai salah satu lembaga NGO yang konsentrasi untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat Indonesia dari berbagai kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat dan sumber daya Agraria, mengambil sikap berjuang bersama masyarakat melawan segala bentuk eksploitasi lingkungan dan Penghisapan serta Penindasan Kaum Buruh.
Sesuai Rilis yang diterima media lini, Yuvensius Nago (Deputi WALHI NTT) Minggu (01/05/2022) mengatakan bahwa, Dua periode pemerintahan Jokowi gencar melakukan pembangunan di provinsi NTT. Beberapa proyek strategis nasional dibangun di NTT mulai dari pertambangan, pariwisata, bendungan, dan proyek skala besar lainnya, yang diharapkan dapat mengeluarkan NTT dari stigma provinsi miskin.
Bagi Walhi NTT, apresiasi bagi pemerintah tentu merupakan hal yang wajar, apalagi seperti NTT yang sebelumnya sering diabaikan dalam pembangunan. Namun, publik NTT harus tetap kritis dalam beberapa hal substansial soal keberlanjutan lingkungan di provinsi NTT.
Walhi mengharapkan agar publik NTT harus tetap kritis dalam beberapa hal substansial. Apalagi dari sisi keberlanjutan lingkungan. Pemerintah wajib dikawal ketika pemerintah juga memberikan ruang yang cukup besar bagi oligarki menguasai beberapa wilayah strategis di NTT, sebab akhir-akhir ini lahan-lahan produktif petani dan nelayan seringkali dikuasai oleh privat sektor.
Dalam catatan WALHI NTT beberapa Proyek Strategis Nasional justru berdampak pada perampasan alat produksi petani. Pembangunan bendungan Lambo di Nagekeo, berpotensi akan merusak alat produksi petani yang mana lokasi tersebut merupakan lahan produktif masyarakat adat rendu yang mayoritas adalah petani. Selain itu, rencana pengeboran di Mataloko dan Jerebuu serta di beberapa lokasi lain di pulau Flores berpotensi besar akan berdampak pada lahan-lahan produktif petani.
Tidak hanya itu, proyek pariwisata strategis nasional juga berdampak pada privatisasi wilayah pesisir. wilayah tambatan perahu nelayan tradisional disulap jadi kawasan perhotelan mewah dan taman-taman wisata baru.”Dalam kacamata Pemerintah pembangunan tersebut merubah wajah kota dan membuka lapangan pekerjaan yang baru. Namun kita perlu jujur mencermati, bahwa ada fenomena baru dalam pembangunan, yakni masifnya perebutan ruang antara masyarakat lokal (petani, nelayan) dan oligarki, serta Negara seringkali mengambil posisi yang timpang. Negara seringkali menggunakan kekuatannya baik itu melalui regulasi dan aparat keamanan untuk mengawal kepentingan oligarki,”Jelas Walhi.
Menurut Walhi, Riset yang telah dilakukan oleh Dr Adis Imam Munandar menjelaskan bahwa, pembangunan berkelanjutan bisa dicapai melalui empat elemen tujuan (1) Pertumbuhan dan keadilan ekonomi; (2) Pembangunan sosial; (3) Konservasi sumber daya alam (perlindungan lingkungan); (4) Pemerintahan yang baik (good governance). Keempat elemen tersebut saling mendukung satu dengan lainnya, menciptakan tujuan pembangunan yang berkaitan dan berkelanjutan.
Konsep keberlanjutan ini seakan sebatas eksis dalam dunia narasi tanpa ada pelaksanaan riil di lapangan. Hal ini tentunya berangkat dari beberapa fakta yang terjadi. Pertama, Prinsip keadilan ekonomi menjadi satu hal yang sering dilanggar oleh kebijakan pemerintah yang tidak pro pada kepentingan rakyat. Proyek pertambangan, monokultur, pariwisata skala besar yang menyasar pada lahan-lahan warga menghasilkan kantung-kantung kemiskinan baru sebagai akibat dari hilangnya lahan pertanian sebagai alat produksi petani, merusaknya sumber-sumber mata air yang berdampak pada kekeringan, jelasnya.
Di lain sisi bagi Walhi, jika perampasan tanah serta pengalihan fungsi tanah semakin terjadi di NTT, petani akan jadi berubah menjadi buruh di tanahnya sendiri. Petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi serta berbagai kebijakan yang mendukungnya dalam bingkai pelaksanaan pembaruan agraria tidak tampak dalam beberapa proyek strategis pemerintah. Food Estate di NTT saat ini justru menjauhkan konsep kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan sulit ditegakkan dan tidak berjalan seiring dengan proses pembangunan pedesaan yang saat ini dikenal sebagai kantong-kantong kemiskinan.
Kawasan Food Estate yang ada di Sumba Tengah dengan Tagline untuk mengurangi kemiskinan berbanding terbalik dengan kondisi sebenarnya. Dalam laporan masyarakat yang diterima WALHI NTT, kepemilikan lahan di kawasan Food Estate itu diduga justru didominasi para pejabat daerah dan kalangan menengah ke atas secara ekonomi. Masyarakat petani kecil justru mendapat bagian paling sedikit. Dan kebanyakan dari mereka karena ketidakberdayaan ekonomi sudah menggadaikan lahannya sebelum program Food Estate dicanangkan di kawasan tersebut, jelas Walhi
Walhi juga menjelaskan bahwa, rilis resmi yang dikeluarkan oleh Serikat Petani Indonesia pada awal 2010, skema Food Estate sama persis dengan model culture stelsel oleh pemerintah colonial sebagai alat ekstraktif mempermudah penghisapan kekayaan alam Indonesia untuk diperdagangkan di negara asal mereka. Pengesahan culture stelsel baru “perampasan tanah” (land grabbing) telah hadir di negeri ini, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh sebuah lembaga pertanian GRAIN di Spanyol tahun 2008, dan digunakan untuk menyebut perampasan tanah untuk “perkebunan pangan” yakni pengambilan tanah-tanah pertanian oleh perusahaan besar melalui investasi agribisnis. Saat ini sudah semakin populer bahkan telah menjadi perhatian berbagai lembaga PBB seperti Food and Agriculture Organization (FAO) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD).
Untuk itu Walhi NTT memperingatkan Pemerintah NTT perlu belajar dari beberapa daerah yang yang rakyatnya terbelenggu oleh oligarki dengan sistem culture stelsel baru dengan skema food estate ini. Ketika pengusaha besar lokal dan asing datang atas mandat pemerintah untuk bersaing dengan petani gurem seperti Medco Energi, Sinar Mas Group, dan Artha Graha dan Bin Laden Group memutuskan terjun dalam bisnis pangan seluas 585.000 hektar di daerah Merauke.
Namun pemerintah tidak berpikir bahwa petani akan tetap menjadi buruh di negerinya sendiri. Negeri ini makin terbelenggu kapital asing dan meliberalisasi semuanya yang justru akan mengancam kedaulatan pangan. Ketika alat produksi petani dirampas, dan selanjutnya petani beralih menjadi buruh di perusahaan-perusahaan dan bahkan menjadi buruh di lahan nya sendiri, masih juga harus berhadapan dengan berbagai permasalah hak buruh yang hari ini masih terus diperjuangkan oleh kaum buruh, tegas Walhi
Berdasarkan pada uraian diatas, maka dengan ini WALHI NTT dalam rangka Peringatan Hari Buruh Sedunia yang jatuh pada hari ini (1/5/2022) menyatakan sikap
Pertama, Hentikan seluruh pembangunan yang tidak pro pada keberlanjutan lingkungan, Pembangunan yang menghancurkan alat produksi petani
Kedua, Hentikan seluruh model perampasan tanah di NTT serta Hentikannya eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Ketiga, Kepastian adanya perlindungan sosial, jaminan pemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan bagi semua warga negara, khususnya para buruh dengan menjamin kepastian kerja dan menghapus sistem upah murah.(Ino/GR)