(Dikisahkan kembali sesuai tuturan Bpk. Yahya Bolang,pemilik Mata Air di Kampung Aman)
Oleh : Arifin Lete Betty
Soe,GaharuNews.com – Tak terasa, hari ini di Soe, 56 tahun sudah peristiwa itu terjadi. Air berubah menjadi Anggur, laksana peristiwa Perkawinan di Kana yang biasanya orang Kristen baca di Alkitab.
Memang sudah ada beberapa tulisan tentang Kisah Air berubah menjadi anggur di Soe Tahun 1965 dari beberapa penulis sebelumnya, namun kisah yang saya angkat ini sedikit istimewa karena berdasarkan versi seorang anak berumur 5 tahun dari keluarga pemilik mata air dimana peristiwa itu terjadi.
Beliau bukan tokoh yang melakoni peristiwa , namun beliau menyaksikan detail peritiwa itu terjadi, sehingga rasanya kalau kisah ini didokumentasikan, pasti akan melengkapi fakta yang mungkin tercerai berai, sekaligus memperkuat berbagai kesaksian sebelumnya bahwa mujizat Tuhan Yesus yang pertama kali terjadi saat perkawinan di Kana, itu nyata dan betul terjadi juga di Kota ini, Kota Soe melalui sebuah pergumulan panjang hamba-hambaNya.
Mengenal Sang Penutur.
Bpk Yahya Bolang yang berkisah dalam tulisan ini adalah salah satu anak dari Alm. Bpk Daris Bolang yang pada waktu kejadian berumur antara 5 tahun. Keluarga Bolang adalah pemilik Mata air di Kampung Aman, Desa Kuatae Kecamatan Kota Soe dimana peristiwa itu terjadi.
Meskipun Bpk. Yahya menuturkan peristiwa dimana saat itu (1965) ia masih kecil, tapi masih terlihat jelas bagaimana beliau mengingat persis kisah itu, serta tokoh – tokoh yang berperan dalam peristiwa itu.
Sebagai seorang anak kecil waktu itu, Bpk. Yahya tidak pernah mengira bahwa suatu saat lakon-lakon itu akan menjadi sebuah cerita penting bahwa Mujizat Tuhan pernah terjadi di Kota ini. Beruntunglah dalam perjalanan waktu saat menanjak dewasa, mendiang ayahandanya sering bercerita tentang kejadian medio september 1965 itu sehingga sungguh menguatkan memori Bpk Yahya, yang ketika dirangkai jadilah kisah yang kami sajikan sebagaimana penuturan Bapak Yahya berikut ini.
Tamu Ibu-Ibu
Semua kisah itu bermula dari suatu siang pada bulan september 1965, rumah kami didatangi sekelompok Ibu-Ibu ; sekitar belasan orang yang kemudian Bapa sampaikan kepada kami bahwa mereka Tim Doa dari Gereja, lalu setelah dewasa saya kenal beberapa diantaranya yakni Ibu Liufeto dari Kampung Amanatun, Ibu Saudale, Ibu Danial, Ibu Manuain, Ibu Uli Selan, Ibu Talan dan lainnya yang saya tidak tau persis.
Mereka bertemu dan berbincang dengan Bapa di dalam rumah sekitar 1 jam lebih, lalu sekembalinya mereka, Bapa katakan kepada kami bahwa : “mulai besok nanti ibu-ibu Tim Doa, mau datang berdoa di mata air di depan rumah, jadi kalau mereka datang jangan beribut” ; Kami mengiyakan saja, lalu entah siapa diantara kami anak-anak yang bertanya saya tidak ingat persis, Bapa lantas menceritakan bahwa mereka mau berdoa (bergumul) karena di Gereja mau perjamuan kudus tapi stok anggur di semua toko habis sehingga ketika mereka doakan di Persekutuan doa ternyata Tuhan memberi petunjuk bahwa mereka harus bergumul di mata air ini hingga hari perjamuan nanti supaya air bisa berubah menjadi anggur.
Sedikit flashback bahwa sebagai anak kecil waktu itu saya tidak terlalu memikirkan bahwa ternyata ketiadaan anggur ini masalah serius di Gereja, dan tidak terlintas pula bahwa air yang berubah menjadi anggur dari sebuah doa itu sesuatu yang bisa dikatakan mujizat, sehingga sayapun tidak menaruh perhatian lagi saat Bapa dan Mama mungkin juga kakak-kakak membahas perihal cerita ibu-ibu tadi.
Untung saja ketika mulai beranjak remaja, Bapa menceritakan kembali topik yang mereka bicarakan bersama Tim Doa siang itu, dimana di Gereja Kota Soe saat itu (Sekarang GMIT Maranatha), rencananya akan dilaksanakan perjamuan kudus tanggal 26 september, namun Bapa Manuain dan Bapa Danial sebagai Pendeta dan utusan injil saat itu sudah cek persediaan anggur di toko Cumping (Sekarang UD.Wijaya), Ence Kimoe (Sekarang Mubatar), Ence Habki (Sekarang Persada Motor), Ence Gumuk (Sekarang Monalisa), dan Ence Kubi (Sekarang Gunung Mas), namun tak satupun toko – toko itu menjual anggur seperti biasa, dan para pemilik toko ini masih harus menunggu waktu untuk membeli di kupang baru bisa menjual anggur lagi.
Menurut cerita ibu-Ibu tadi yang dituturkan kembali oleh Bapa ; bahwa akibat dari ketiadaan anggur tersebut, maka Bapa Manuain dan Bapa Danial memanggil Ibu-Ibu yang kebetulan tergabung dalam Tim Doa di Gereja Kota Soe, lalu meminta mereka menggumuli masalah ini sebab waktu perjamuan semakin dekat ; sementara jemaat juga tidak memiliki keahlian untuk membuat anggur atau membuat semacam anggur buatan seperti yang sekarang kadang di kampung-kampung ada jemaat yang ramu sendiri pakai cengkeh dan sebagainya.
Maka selanjutnya Tim Doa Ibu-Ibu dibawah pimpinan Ibu Liufeto sebagai Ketua membawa pergumulan ketiadaan anggur ini dalam setiap doa mereka, hingga pada suatu hari mereka mendapat petunjuk Tuhan bahwa mereka harus berdoa dan bergumul disebuah mata air di Kampung Aman hingga hari perjamuan, niscaya air itu bisa berubah menjadi anggur.
Atas dasar keyakinan iman itulah kemudian Ibu-Ibu menemui Bapa pada siang itu dan menyampaikan maksud mereka untuk berdoa di mata air depan rumah kami yang kebetulan di kampung aman sesuai petunjuk.
Pergumulan Tiap Sore dan Subuh
Sejak Ibu – Ibu menemui Bapa siang itu, dan kemudian Bapa sampaikan kepada kami bahwa akan ada Doa di mata air, maka selanjutnya mulai keesokan harinya saya melihat Ibu-Ibu ini mulai datang dan berdoa di mata air depan rumah.
Kebetulan mata air ini juga bukan sebuah mata air besar ; Ini hanya mata air kecil yang kami tarik menggunakan bambu menuju depan rumah untuk dipakai minum dan mandi. Sekeliling mata air juga banyak ditumbuhi rerumputan dan semacam rawa-rawa, namun demikian Ibu-Ibu ini terus datang berdoa dan menyanyi setiap hari hingga sekitar 2 minggu lebih kalau tidak salah ; bahkan karena tiap hari datang maka dalam memori saya sekarangpun saya masih hafal persis warna pakaian yang biasanya mereka kenakan.
Jam berdoa mereka biasanya sore dan subuh, jadi tiap sore harinya sekitar jam 5 – 7 malam mereka datang, bernyanyi lalu berdoa, dan subuhnya mereka datang lagi lalu bernyanyi dan berdoa lagi ; begitu terus mereka lakukan setiap hari selama waktu yang saya perkirakan 2 minggu lebih itu. Kami anak – anak tidak pernah mendekat kesana saat mereka datang berdoa dan seingat saya Bapa dan mama juga sepertinya tidak pernah bergabung dalam doa itu ; kami hanya melihat dari jauh saja.
Air Berubah Menjadi Anggur
Sore itu ditanggal 25 September, kami tetap melihat rutinitas seperti biasa, yakni Ibu-Ibu Tim Doa tetap datang bernyanyi lalu berdoa hingga malam ; namun malam itu mereka pulang agak telat sedikit dari biasanya ; sekitar jam 8 atau jam 9 malam baru mereka pulang, entah apa yang terjadi. Sementara itu di rumah kami juga seperti biasa setelah makan malam, kami mengambil posisi tidur masing-masing tanpa firasat apa-apa. Saya hanya sempat mendengar sedikit perbincangan Bapa dan Mama serta kakak-kakak bahwa subuh nanti mereka akan pergi ke perjamuan kudus, karena kebetulan perjamuan kudus di Gereja Kota Soe saat itu dilaksanakan subuh.
Sekitar jam 1 dini hari ditanggal 26 September itu, saya dan beberapa kakak terbangun karena Bapa dan Mama juga sedang bersiap-siap untuk pergi ke perjamuan kudus, namun mereka juga sepertinya lagi tegang membicarakan sesuatu yang terjadi. Melihat kami terbangun sambil mengucak mata, Bapa hanya berbicara lirih kepada kami : “diam-diam te air didepan su jadi anggur, kamu cium bau ko sonde?”.
Sementara itu di luar rumah, sayup-sayup saya mendengar nyanyian Ibu-Ibu Tim Doa yang malam ini datang lebih cepat dari biasanya. Volume nyanyian mereka terdengar lebih pelan juga dari malam-malam sebelumnya. Saya lalu bergegas ke jendela dan sedikit menyibak tirai jendela untuk bisa melihat keluar, dan disana saya melihat hampir semuanya berpakaian hitam putih layaknya orang yang mau pergi ke Perjamuan kudus.
Saya melihat ibu-ibu itu seperti menimba air dari sumur dan mengisi tempat air yang sudah mereka bawa ; mereka menimba air sambil terus menyanyi lagu-lagu rohani.
Sementara saya menyaksikan Ibu-Ibu menimba air, tercium aroma anggur yang keras hampir di setiap sudut rumah terutama dari air pancuran didepan rumah kami; makin lama aromanya makin terasa. Sebagai anak kecil saya hanya sempat berpikir sejenak bahwa mungkin ini yang tadi dibilang oleh Bapa bahwa air sudah berubah menjadi anggur.
Saya tidak berpikir bahwa itu sebuah hal yang mustahil bahkan tergolong mujizat karna saya sendiri tidak tahu bagaimana proses pembuatan anggur dilakukan, namun yang pasti bahwa semerbak aroma anggur secara spontan memenuhi tempat itu, mulai dari mata air tempat ibu-ibu berdoa hingga pancuran didepan rumah kami ; bahkan tempat – tempat air dirumah yang diisi dari air pancuran didepan rumahpun hari itu beraroma anggur.
Sepertinya hari itu juga banyak tetangga yang biasanya datang menimba air di pancuran depan rumah juga tidak datang menimba air sedangkan untuk Keluarga kami di rumah ; kalau tidak salah tetap menggunakan air pancuran untuk mandi, memasak dan mencuci pada hari itu meski beraroma anggur.
Pokoknya keadaan air menjadi anggur itu terus bertahan sampai Bapa dan mama kembali dari perjamuan kudus hingga sore harinya, kamipun tidak menyadari entah jam berapa aroma anggur itu hilang dan keadaan air kembali seperti hari hari biasanya baik pancuran didepan rumah, maupun tempat air yang diisi tadi pagi juga sudah tidak beraroma lagi.
Demikianlah Bapak Yahya Bolang menuturkan sebuah kisah yang sangat kuat pesannya bagi seluruh umat Tuhan di Kota ini agar teruslah berpengharapan sebab tapak-tapak Kasih setia Tuhan begitu nyata bagi Kota ini.
Bahwa di Kota ini, pernah ada umat Tuhan berkumpul, bersepakat, dan bergumul meminta kepada Tuhan lalu terjadilah mujizat. Mari kita bersepakat, bergumul, dan bersama meminta kepadaNya, agar biarlah Tuhan sucikan Kota ini dari wabah pandemi ini.
Editor: Tim GaharuNews