15 TAHUN TAK KUNJUNG PULANG KKN, IPB GANJAR MAHASISWA DENGAN GELAR INSINYUR PERTANIAN ISTIMEWA

0
M. Kasim Arifin

Kupang, Gaharu News.Com – Kisah M. Kasim Arifin Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) mungkin tak seindah kisah cinta para mahasiswa lainya ketika melakukan Kuliah Kerja Nyata dan  tak se viral cerita mistis KKN di Desa Penari. Namun Kisah Kasim Arifin adalah contah nyata dari perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Tiga (3) Inti dari Tri Dharma Perguruan tinggi adalah Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengenbangan, serta Pengabdian Kepada Masyarakat.  Tri  Dharma Perguruan tinggi  adalah merupakan tanggung jawab dari semua civitas akademi, bukan hanya mahasiswa saja, dosen, dekan bahkan Rektor harus mampu melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dan semua itu mampu diwujudkan oleh Mohammad Kasim Arifin seorang Mahasiswa yang lahir pada tanggal 18 April 1938 di Langsa, Aceh Timur .

Kisah itu dimulai tahun 1964 ketika IPB mengadakan Program “Pengerahan Tenaga Mahasiswa” (sekarang disebut Kuliah Kerja Nyata), para mahasiswa IPB yang hampir mencapai  program akhir studi dikirimkan ke seluruh pelosok Indonesia , Moh. Kasim Arifin bersama beberapa temannya dikirimkan untuk mengabdi di Waitamal Pulau Seram. Para mahasiswa tersebut di beri tugas untuk memperkenalkan Proram Panca Usaha Tani yang saat itu digalakan oleh pemerintah.

Setelah beberapa bulan berbaur dengan masyarakat memperkenalkan Program panca Usaha Tani, para mahasiswa pun kembali ke IPB, namun kasim memilih tetap tinggal di Waitamal, rupanya kasim telah terlanjur jatuh hati dengan kondisi lahan pertanian dan kehidupan masyarakat di waitamal Pulau Seram, Kasim lebih memilih untuk terus melakukan bimbingan Panca Usaha Tani Kepada masyarakat guna meningkatkan hasil dari pertanian dan peternakan.

Bersama-sama dengan masyarakat ia bergotong royong membuka jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi, mengajarkan pola tanam dan bagaimana mengembangkan peternakan,  semua itu dilakukannya tanpa bantuan satu sen pun dari pemerintah. Masyarakat setempat sangat menghargai kesederhanaan, kedermawanan dan tutur katanya yang lembut. Oleh masyarakat setempat, ia disapa sebagai Antua, sebuah sebutan bagi orang yang dihormati di Maluku.

Sementara itu Orangtuanya meminta agar  ia segera pulang namun permintaan itu tidak dihiraukannya, bahkan Surat Panggilan Resmi dari rektor IPB waktu itu, Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, tidak dipedulikannya. Panggilan ketiga sekolahnya yang disertai oleh utusan khusus Rektor IPB, yaitu sahabatnya sendiri, Saleh Widodo, akhirnya berhasil menggerakkan Kasim untuk pulang kembali ke IPB  setelah 15 tahun menunjukan karya nyata seorang mahasiswa tanpa pamrih tanpa gaji.

Pada Tanggal  22 September 1979 Kasim kembali menginjakan kaki di Institut Pertanian Bogor dengan berkaos oblong dan bersandal jepit, oleh teman teman seangkatan nya yang saat itu sudah berkumpul di IPB  kasim  dipakaikan jas, dasi dan sepatu, sumbangan teman-temannya,  pada hari itu juga Moh. Kasim Arifin setelah 15 Tahun melakukan KKN di Wisuda tanpa Skripsi tanpa mengikuti Ujian Skripsi dan diberi gelar Sarjana Pertanian Istimewa.

Berbagai tawaran pekerjaan disampaikan padanya, tapi dia kembali lagi ke desa Waimital sesudah wisuda. Baru sesudah itu dia menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di tanah asalnya. Tawaran meninjau pertanian di Amerika Serikat ditolaknya. Ketika ditanya kenapa kesempatan jalan-jalan ke A.S. itu tak diterimanya, sambil tertawa Kasim berkata bahwa pertama-tama jangankan bahasa Inggeris, bahasa Indonesianya saja sudah banyak lupa. Kemudian yang penting lagi, katanya, apa manfaatnya meninjau pertanian di sana, yang berbeda sekali dengan pertanian kita di sini. Kesempatan meninjau sambil liburan tamasya ke A.S. itu tak menarik hatinya. Pada tahun 1982 Moh. Kasim Arifin atas jasa dan pengabdian nya kepada masyarakat di Waitamal Pulau Seram diberikan penghargaan Kalpataru oleh Pemerintah Indonesia.

Taufiq Ismail, penyair yg alumnus IPB dan sahabat dekat Kasim, menuliskan puisi buat Kasim

Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang pada hari ini pulang ke Almamaternya

I

Dia mahasiswa tingkat terakhir

ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram

untuk tugas membina masyarakat tani di sana.

Dia menghilang

15 tahun lamanya.

Orangtuanya di Langsa

memintanya pulang.

IPB memanggilnya

untuk merampungkan studinya,

tapi semua

sia-sia.

II

Dia di Waimital jadi petani

Dia menyemai benih padi

Orang-orang menyemai benih padi

Dia membenamkan pupuk di bumi

Orang-orang membenamkan pupuk di bumi

Dia menggariskan strategi irigasi

Dia menakar klimatologi hujan

Orang-orang menampung curah hujan

Dia membesarkan anak cengkeh

Orang kampung panen raya kebun cengkeh

Dia mengukur cuaca musim kemarau

Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau

Dia meransum gizi sapi Bali

Orang-orang menggemukkan sapi Bali

Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah

Orang-orang memasang dinding dan atapnya

Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka

Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika

Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi

Kasim Arifin, di Waimital

Jadi petani.

 

III

Dia berkaus oblong

Dia bersandal jepit

Dia berjalan kaki

20 kilometer sehari

Sesudah meriksa padi

Dan tata palawija

Sawah dan ladang

Orang-orang desa

Dia melintas hutan

Dia menyeberang sungai

Terasa kelepak elang

Bunyi serangga siang

Sengangar tengah hari

Cericit tikus bumi

Teduh pohonan rimba

Siang makan sagu

Air sungai jernih

Minum dan wudhukmu

Bayang-bayang miring

Siul burung tekukur

Bunga alang-alang

Luka-luka kaki

Angin sore-sore

Mandi gebyar-gebyur

Simak suara azan

Jamaah menggesek bumi

Anak petani diajarnya

Logika dan matematika

Lampu petromaks bergoyang

Angin malam menggoyang

Kasim merebah badan

Di pelupuh bambu

Tidur tidak berkasur.

IV

Dia berdiri memandang ladang-ladang

Yang ditebas dari hutan rimba

Di kakinya terjepit sepasang sandal

Yang dipakainya sepanjang Waimital

Ada bukit-bukit yang dulu lama kering

Awan tergantung di atasnya

Mengacungkan tinju kemarau yang panjang

Ada bukit-bukit yang kini basah

Dengan wana sapuan yang indah

Sepanjang mata memandang

Dan perladangan yang sangat panjang

Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu

Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya

Bersama puluhan transmigran

Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang

Dan air pun berpacu-pacu

Delapan kilometer panjangnya

Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja

Mengairi tanah 300 hektar luasnya

Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ

Muhammad Kasim Arifin, di sana,

Berdiri memandang ladang-ladang

Yang telah dikupasnya dari hutan rimba

Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor

Di padang rumput itu

Rumput gajah yang gemuk-gemuk

Sayur-sayuran yang subur-subur

Awan tergantung di atas pulau Seram

Dikepung lautan biru yang amat cantiknya

Dari pulau itu, dia telah pulang

Dia yang dikabarkan hilang

Lima belas tahun lamanya

Di Waimital Kasim mencetak harapan

Di kota kita mencetak keluhan

(Aku jadi ingat masa kita diplonco

Dua puluh dua tahun yang lalu)

Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca

Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi

Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku

Ketika aku mengingatmu, Sim

Di Waimital engkau mencetak harapan

Di kota, kami …

Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah

Awan yang tergantung di atas kota juga

Kau kini telah pulang

Kami memelukmu.

1979

Catatan: (dari Taufiq Ismail) Bagian IV puisi ini saya bacakan pada hari wisuda Institut Pertanian Bogor di kampus Darmaga, Sabtu, 22 September 1979, sesudah M. Kasim Arifin menerima gelar Insinyur Pertanian Istimewa.

Diambil dari berbagai sumber. [gn/tim]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here