Kupang, Gaharu News.Com – Kisah M. Kasim Arifin Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) mungkin tak seindah kisah cinta para mahasiswa lainya ketika melakukan Kuliah Kerja Nyata dan tak se viral cerita mistis KKN di Desa Penari. Namun Kisah Kasim Arifin adalah contah nyata dari perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Tiga (3) Inti dari Tri Dharma Perguruan tinggi adalah Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengenbangan, serta Pengabdian Kepada Masyarakat. Tri Dharma Perguruan tinggi adalah merupakan tanggung jawab dari semua civitas akademi, bukan hanya mahasiswa saja, dosen, dekan bahkan Rektor harus mampu melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dan semua itu mampu diwujudkan oleh Mohammad Kasim Arifin seorang Mahasiswa yang lahir pada tanggal 18 April 1938 di Langsa, Aceh Timur .
Kisah itu dimulai tahun 1964 ketika IPB mengadakan Program “Pengerahan Tenaga Mahasiswa” (sekarang disebut Kuliah Kerja Nyata), para mahasiswa IPB yang hampir mencapai program akhir studi dikirimkan ke seluruh pelosok Indonesia , Moh. Kasim Arifin bersama beberapa temannya dikirimkan untuk mengabdi di Waitamal Pulau Seram. Para mahasiswa tersebut di beri tugas untuk memperkenalkan Proram Panca Usaha Tani yang saat itu digalakan oleh pemerintah.
Setelah beberapa bulan berbaur dengan masyarakat memperkenalkan Program panca Usaha Tani, para mahasiswa pun kembali ke IPB, namun kasim memilih tetap tinggal di Waitamal, rupanya kasim telah terlanjur jatuh hati dengan kondisi lahan pertanian dan kehidupan masyarakat di waitamal Pulau Seram, Kasim lebih memilih untuk terus melakukan bimbingan Panca Usaha Tani Kepada masyarakat guna meningkatkan hasil dari pertanian dan peternakan.
Bersama-sama dengan masyarakat ia bergotong royong membuka jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi, mengajarkan pola tanam dan bagaimana mengembangkan peternakan, semua itu dilakukannya tanpa bantuan satu sen pun dari pemerintah. Masyarakat setempat sangat menghargai kesederhanaan, kedermawanan dan tutur katanya yang lembut. Oleh masyarakat setempat, ia disapa sebagai Antua, sebuah sebutan bagi orang yang dihormati di Maluku.
Sementara itu Orangtuanya meminta agar ia segera pulang namun permintaan itu tidak dihiraukannya, bahkan Surat Panggilan Resmi dari rektor IPB waktu itu, Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution, tidak dipedulikannya. Panggilan ketiga sekolahnya yang disertai oleh utusan khusus Rektor IPB, yaitu sahabatnya sendiri, Saleh Widodo, akhirnya berhasil menggerakkan Kasim untuk pulang kembali ke IPB setelah 15 tahun menunjukan karya nyata seorang mahasiswa tanpa pamrih tanpa gaji.
Pada Tanggal 22 September 1979 Kasim kembali menginjakan kaki di Institut Pertanian Bogor dengan berkaos oblong dan bersandal jepit, oleh teman teman seangkatan nya yang saat itu sudah berkumpul di IPB kasim dipakaikan jas, dasi dan sepatu, sumbangan teman-temannya, pada hari itu juga Moh. Kasim Arifin setelah 15 Tahun melakukan KKN di Wisuda tanpa Skripsi tanpa mengikuti Ujian Skripsi dan diberi gelar Sarjana Pertanian Istimewa.
Berbagai tawaran pekerjaan disampaikan padanya, tapi dia kembali lagi ke desa Waimital sesudah wisuda. Baru sesudah itu dia menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di tanah asalnya. Tawaran meninjau pertanian di Amerika Serikat ditolaknya. Ketika ditanya kenapa kesempatan jalan-jalan ke A.S. itu tak diterimanya, sambil tertawa Kasim berkata bahwa pertama-tama jangankan bahasa Inggeris, bahasa Indonesianya saja sudah banyak lupa. Kemudian yang penting lagi, katanya, apa manfaatnya meninjau pertanian di sana, yang berbeda sekali dengan pertanian kita di sini. Kesempatan meninjau sambil liburan tamasya ke A.S. itu tak menarik hatinya. Pada tahun 1982 Moh. Kasim Arifin atas jasa dan pengabdian nya kepada masyarakat di Waitamal Pulau Seram diberikan penghargaan Kalpataru oleh Pemerintah Indonesia.
Taufiq Ismail, penyair yg alumnus IPB dan sahabat dekat Kasim, menuliskan puisi buat Kasim
Syair untuk Seorang Petani dari Waimital, Pulau Seram, yang pada hari ini pulang ke Almamaternya
I
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.
II
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.
III
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilometer sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
IV
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-sayuran yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
1979
Catatan: (dari Taufiq Ismail) Bagian IV puisi ini saya bacakan pada hari wisuda Institut Pertanian Bogor di kampus Darmaga, Sabtu, 22 September 1979, sesudah M. Kasim Arifin menerima gelar Insinyur Pertanian Istimewa.
Diambil dari berbagai sumber. [gn/tim]